Jumat, 02 Oktober 2009

Pangan Darurat untuk Korban Bencana Alam

KOMPAS.com — Saat terjadi bencana alam sering kali para korban mendapat bantuan mi instan. Padahal, dalam kondisi darurat, makanan ini tidak praktis dan sangat merepotkan. Selain dibutuhkan air bersih untuk memasaknya, korban juga membutuhkan kompor yang belum tentu tersedia.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah lama memikirkan perlunya makanan darurat yang praktis, tetapi bergizi dan memenuhi kebutuhan pangan korban bencana alam.

”Selain itu, bahan baku makanan haruslah kandungan lokal sehingga mudah didapatkan,” kata Esti Wijayanti, Kepala Bidang Teknologi Pangan Fungsional Pusat Teknologi Bioindustri pada BPPT, Kamis (1/10) di Jakarta.

Esti bersama timnya di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang, baru-baru ini meracik formula pangan darurat bencana yang diberi nama ImunoYoi. Seluruh komponennya berasal dari bahan baku lokal.

Makanan darurat ini menjadi sumber karbohidrat dan protein bagi korban bencana alam. Kelebihan lainnya, makanan darurat ini mengandung zat aktif yang berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh, misalnya supaya terhindar dari diare, influenza, dan gangguan kesehatan lainnya.

ImunoYoi dalam skala percobaan telah diproduksi dengan berat 100 gram mampu memenuhi kebutuhan energi sekitar 500 kilokalori (kkal). Nilai gizinya meliputi karbohidrat 56 persen, lemak 21 persen, protein 13 persen, dan mineral 3 persen. Setiap orang dewasa diperkirakan memiliki kebutuhan 2.100 kkal sehingga setiap hari cukup mengonsumsi empat kemasan ImunoYoi.

Untuk mengonsumsinya, tidak perlu memasak. Harga produksi ImunoYoi 100 gram dalam kemasan siap didistribusikan, menurut Esti, saat ini masih berkisar Rp 4.000. Bahan makanan ini dalam kemasan yang tertutup bisa tahan sampai enam bulan.

”Sayang, makanan yang sangat praktis ini belum dilirik pemerintah untuk diproduksi secara massal,” kata Esti. Padahal, dengan banyaknya bencana alam di Tanah Air, makanan darurat ini sangat membantu korban bencana alam.

Toilet jinjing

Selain pangan, korban bencana juga membutuhkan toilet darurat. Sayangnya, kebutuhan korban bencana ini sering kali dilupakan atau diabaikan pemerintah.

Di lokasi pengungsian sering kali toilet tidak tersedia atau jumlahnya tidak memadai dibandingkan dengan jumlah pengungsi. Kalaupun toilet ada, sering kali airnya tidak tersedia.

Mengatasi masalah itu, Neni Sintawardani, peneliti dari Pusat Penelitian Fisika Terapan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama timnya sejak 10 tahun lalu mengembangkan jamban kering berwawasan lingkungan yang disebut biotoilet. Riset ini melibatkan peneliti dari Hokkaido University dan Tokyo Institute of Technology.

Mereka telah memperoleh paten dari karya inovasi ini dan membuat beberapa prototipe biotoilet termasuk yang portabel. Setiap jamban jinjing ini dapat melayani lima hingga enam orang. Sarana ini masih berupa prototipe, tetapi telah teruji layak digunakan.

Uji coba tiga tahun terakhir dilakukan di Bandung, yaitu di Pusat Penelitian Fisika Terapan LIPI, Pesantren Daarut Tauhid, dan di Kiara Condong. Dari hasil uji coba ini, biotoilet sangat cocok digunakan untuk daerah permukiman padat dan untuk keadaan darurat, seperti untuk korban bencana alam.

”Biotoilet sudah siap untuk dikembangkan dan diproduksi secara massal. Kami menunggu kalangan industri untuk memproduksinya secara massal,” kata Neni.

Biotoilet buatan LIPI merupakan modifikasi model dari negara subtropis. Pada biotoilet ini penggunaan air dimungkinkan untuk membersihkan diri. Di negara Barat hanya digunakan kertas tisu.

Meski masih menggunakan air, biotoilet dapat menghemat air hingga 80 persen. Biotoilet hanya membutuhkan 5 liter air per hari.

Sebagai pengurai kotoran, digunakan serbuk gergaji yang mengurainya menjadi kompos. Serbuk gergaji kayu digunakan karena bersifat menyerap bau dan memiliki porositas tinggi (85-90 persen ruang udara), penahan air (35-40 persen), ringan, tidak mudah rusak bentuknya, serta mudah diurai secara alami.

Dalam lima bulan, kotoran yang bercampur serbuk gergaji itu telah terurai sempurna hingga menjadi pupuk kompos, yang dapat digunakan sebagai penyubur tanah. Pupuk ini mengandung unsur mineral, seperti natrium, kalium, fosfor, dan nitrogen.

Pengolah air bersih

Keterbatasan air bersih di lokasi bencana diatasi dengan menyediakan alat pengolah air limbah menjadi air bersih hingga air siap minum. Sistem pengolah ini dikembangkan Arie Herlambang dan tim peneliti teknologi penyehatan lingkungan dari BPPT sejak tahun 1996.

Instalasi penghasil air bersih dilengkapi dengan ultrafiltrasi yang berukuran pori 0,01 mikron hingga 0,1 mikron dan pompa bertekanan di bawah 4 bar. ”Adapun untuk menghasilkan air minum, alat tersebut harus dilengkapi dengan disinfektan atau pembunuh kuman dengan sinar ultraviolet,” kata Arie, yang kini menjadi Kepala Bidang Teknologi Pengendalian Pencemaran BPPT.

Untuk menyediakan air bersih yang bersumber dari air sungai yang keruh, Arie dan timnya merancang bangunan instalasi pengolah yang mobile dapat dimuat di kendaraan pikap. Alat tersebut berukuran 1,5 x 1,5 x 2 meter, lengkap dengan unit generator listriknya.

Di dalam instalasi penyaring itu terdapat saringan pasir dengan ukuran pori sebesar 0,5 mikron yang dikombinasikan dengan cartridge atau saringan kain. Fasilitas ini dapat menghasilkan air bersih 50 meter kubik-100 meter kubik per hari. Air sebanyak ini dapat memasok 50 hingga 150 kepala keluarga.

Alat ini sudah digunakan untuk korban gempa di Bantul, Yogyakarta, tiga tahun lalu. Tidak menutup kemungkinan, alat ini dikembangkan untuk membantu korban bencana di daerah lain.

Nawa Tunggal/Yuni Ikawati

1 komentar:

Unknown mengatakan...

uda terbiasa seba mi instan kali jadi masi belum terbiasa dengan makan Pangan Darurat apalagi harganya 4000 lebih mahal dari mi instan

Posting Komentar

 

Featured