Senin, 22 Juni 2009

Posyandu, Sejarah dan Perkembangannya

Tulisan yang pernah dimuat Suara Merdeka ini awalnya berjudul “Reformasi Datang, Posyandu Berkurang”. Tulisan ini merupakan hasil wawancara dengan Prof. Dr. Haryono Suyono, sosok yang melekat dengan term Posyandu. Semoga bermanfaat.


MEREBAKNYA kasus busung lapar, polio dan kekurangan gizi yang tersebar di berbagai daerah, sangat mengejutkan. Pemerintah baru bereaksi setelah korban sudah berjatuhan. Padahal, sepuluh tahun yang lalu, Indonesia sudah dinyatakan bebas polio. Bagaimanakah peran Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), yang memang tempat bagi ibu hamil, dan anak-anak memeriksakan kesehatannya? Apakah sekarang sudah tidak lagi berfungsi?

Berikut wawancara dengan tokoh penggagas posyandu, yang juga mantan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Prof DR Haryono Suyono, di ruang kerjanya di kawasan Kuningan Jakarta.

Bapak dikenal sebagai penggagas posyandu. Bagaimanakah sejarah posyandu?
Sejak tahun 1970-an, kita sudah mulai dengan Keluarga Berencana (KB). Awalnya, kita hanya menggunakan klinik dengan pendekatan kesehatan yang ditangani para dokter. Namun klinik terbatas jumlahnya. Pada tahun 1973, BKKBN mulai menjemput bola. Artinya, klinik itu tetap dianggap sebagai markas, tapi petugas dan sukarelawan mulai dikerahkan dan menyebar ke desa-desa. Itu kita namakan dengan KB Bersama Masyarakat.

Bagaimana pelaksanaannya di lapangan?
Para petugas lapangan, kiai, sesepuh desa dan orang-orang yang berpengaruh, mengajak pasangan usia subur (PUS) untuk ikut KB, yang dilayani di klinik-klinik. Tapi, karena terlalu banyak, lama-lama kliniknya tidak bisa melayani atau masuk ke desa. Setelah klinik masuk desa, kira-kira tahun 1976 hingga 1978, baru PUS dilayani di pedesaan. Saat itu, muncul istilah yang dikenal dengan KB Desa.

Saat itu sudah banyak yang ber-KB?
Sekitar tahun 1978, setelah mulai banyak akseptor, kita memperkenalkan slogan "Dua Anak Cukup", sedikit anak lebih bagus, baru kita dapatkan 30 - 35% PUS yang ber-KB. Dalam peninjauan bersama direktur jenderal, gubernur, bupati dan kadang-kadang bersama menteri kesehatan, baru diketahui di desa, orang-orang yang ingin dua anak, ternyata gizinya buruk.

Ada upaya untuk meningkatkan gizi mereka?
Pada tahun 1979, bersama Departemen Kesehatan (Depkes), kita munculkan gerakan KB Gizi. Gerakan KB dengan Gizi ini kita kembangkan bersama para akseptor yang ada di desa-desa. Lalu, akseptor membentuk Kelompok Akseptor. Karena konotasinya hanya 'menerima,' pada tahun 1980 mereka ingin lebih 'memiliki.' Kemudian namanya berubah menjadi Kelompok Peserta KB.

Dengan perubahan nama itu ada perubahan tugas dan tanggung jawab?
Ada, kelompok peserta KB itu mulai menimbang bayi. Kita perkenalkan timbangan, dimana batita (bawah tiga tahun) dan balita (bawah lima tahun) selama tiga tahun berat badannya harus terus naik. Timbangan yang dipakai juga harus sama.

Jika ditemukan ada batita yang berat badannya tidak naik, akan ada petugas yang memanggil dokter atau tenaga medis. Dari situ mulai terdeteksi, anak-anak yang berasal dari keluarga kurang gizi.

Lalu digalakkan pula program gizi. Kita mulai dari 15.000 desa, dengan informasi gizi, penimbangan batita dan balita.

Saat itu program KB sudah terpadu?
Pada awal tahun 1980-an, program KB yang sudah bekerja sama dengan tenaga medis, membentuk pos-pos KB dan pos penimbangan. Selain PUS, juga dicari ibu hamil dan kemudian menimbangnya. Itu kita sebut dengan Gerakan Ibu Sehat Sejahtera (GISS). Gerakan tersebut menyantuni ibu-ibu yang sedang hamil. Ibu yang hamil pasti subur, setelah melahirkan, kita tawari untuk memasang spiral. Jadi gerakan tersebut ada maksudnya, ha ha ha...

Hasilnya bagaimana?
Pada tahun 1981-an, petugas KB dan kesehatan menyatu dalam Pos KB dan Pos Penimbangan. Sebagian terbesar masih di pos KB, yang bertugas membagi pil, mengajak orang pakai spiral, dan mengundang bidan ke desa-desa untuk memasang spiral.

Kegiatan tersebut dilakukan dimana saja?
Kita dirikan Pos KB di Pesantren. Sebab, jika kiainya belum bilang "Nyai sudah pakai spiral, masa kamu belum," maka santri dan masyarakat di sekitar pesantren pasti akan berbondong-bondong. Itu terjadi di beberapa tempat, seperti Madura dan Aceh. Waktu itu saya sudah menjadi Deputi Kepala BKKBN. Kalau saya terangkan dengan bahasa ilmiah sampai mulut berbusa, tapi kiainya belum "nyuruh" santrinya, pidato saya tidak "payu" ha ha ha...

Selain manfaat kesehatan, ibu-ibu juga memiliki ketrampilan tambahan, yaitu dapat mengajar mengaji dengan metode Iqro, karya almarhum Humam dari Yogyakarta. Pada saat itu, ibu yang pandai mengaji belum tentu dapat mengajar mengaji. Namun dengan Iqro, mereka jadi bisa mengajarkan pada anak-anaknya.

Saat itu pesertanya sudah banyak?
Betul sekali. Tahun 1983, kelompok-kelompok peserta KB berjumlah 500 ribu, dari 65.000 desa. Bahkan, sampai ke perdukuhan sudah ada pos kesehatannya. Saat pak Suwardjono (bekas Kepala BKKBN-Red) ditarik menjadi Menteri Kesehatan, beliau berkeinginan untuk mengulang konsep kelompok akseptor di bidang kesehatan. Saya yang saat itu menggantikannya menjawab, daripada repot-repot, lebih baik kita satukan saja akseptor kesehatan dengan KB. Disitulah muncul gagasan untuk membentuk posyandu. Pada tanggal 29 juni 1983, posyandu kita kukuhkan, dalam kerja sama antara Kepala BKKBN dengan Menteri Kesehatan.

Bagaimana mekanisme kerja di posyandu, mengingat itu merupakan kerja kolektif dua lembaga?
Kita bagi dalam lima meja untuk pemeriksaan, penimbangan, KB, imunisasi, dan lain-lain. Yang rawan adalah kondisi kesehatan batita, balita dan ibu hamil. Untuk itu, Petugas Lapangan KB (PLKB) bertugas mencari ibu hamil, batita dan balita. Yang melayani di pos adalah petugas dari Depkes.

Meninggalnya ibu hamil, sebagian besar karena dulu pelayanan di rumah sakit kurang bagus, selain karena ibu hamil yang tidak pernah memeriksakan ke petugas kesehatan, sehingga tidak diketahui jika ada kelainan-kelainan. Bisa juga meninggal dalam perjalanan karena perdarahan. Paling tidak, selama empat kali ibu hamil harus memeriksakan kandungannya.

Namun pada perkembangan berikutnya, karena pos ini adalah milik masyarakat, maka ibu-ibu Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bertindak sebagai pembina atau manajer posyandu di tiap desa. Secara organisasi, mereka yang mengatur, tapi pemerintah mendampingi dengan ketat.

Sebagai program nasional, apakah melibatkan banyak orang yang terlibat?
Saat itu, PLKB berjumlah tidak kurang dari 50 ribu petugas. Mereka keliling mencari ibu hamil. Yang punya anak batita dan balita, harus masuk ke posyandu secara rutin. Begitu pula dengan akseptor, harus rutin.

Jumlah tenaga medis ada berapa orang?
Baru ada delapan ribu bidan ketika itu, sementara jumlah desa ada 65 ribu. Karena terasa kurang, tahun 1984-85 saya lapor ke Presiden Soeharto, meminta tambahan bidan. Oleh presiden direspon dengan Inpres tentang bidan, membentuk sekolah kebidanan, pelatihan bidan. Walaupun tidak semuanya memiliki kualifikasi kelas wahid, akhirnya menghasilkan bidan 65 hingga 70 ribu bidan pada tahun 1990. Saat itu, di setiap desa ada bidan, istilahnya Bidan di Desa.

Bidan di desa diberikan tugas secara terpadu, baik tentang KB maupun kesehatan. Mereka mendampingi ibu-ibu di pedesaan secara profesional dalam bidang kesehatan.

Hasil positif apa yang dicapai dengan program Bidan di Desa?
Masalah-masalah gizi bisa terdeteksi. Begitu pula dengan masalah kesehatan keluarga yang belum ber-KB. Kita juga lakukan vaksinasi polio, hepatitis, dan cacar secara besar-besaran, sehingga masalah yang berkaitan dengan kesehatan dan gizi dapat kita prediksi, termasuk busung lapar.

Pada saat itu, apa kesulitannya?
Pertama, kekurangan tenaga bidan saat itu sudah diatasi dengan inpres bidan. Yang kedua, petugas-petugas KB tidak bisa secara otomatis melayani pemeriksaan kesehatan bagi akseptor di daerah-daerah karena kurangnya bidan. Baru teratasi setelah bidan masuk desa.

Yang ketiga, tidak selamanya sistem gratis itu diminati. Orang-orang yang merasa sudah mempu secara ekonomi, merasa gengsi digratiskan dan mengira, jangan-jangan obatnya murahan. Ada pula yang beranggapan program KB hanya untuk orang miskin.
Oleh karena itu, kita mengadakan reformasi, dengan cara dokter swasta boleh praktek melayani pasien yang ber-KB, boleh menarik biaya, kita jual kondom, dan kita bikin iklan "Ya ya ya..."

Ternyata, barang yang sama, namun dibungkus dengan kemasan yang berbeda dan kita kasih merk itu laku keras. Peserta KB Mandiri mencapai 60 hingga 70%, ada yang tergabung dalam kelomp[ok KB Mandiri. Bidannya juga ada yang mandiri.

Apakah saat itu sudah benar-benar terprogram?
Metode yang digunakan adalah bagaimana kita mencari akseptor KB. Kita menjemput bola, baik di RT maupun RW. Yang menetesi imunisasi bukan saja petugas, tetapi juga kader yang telah kita didik dan latih. Kita juga lakukan simbolisasi dari presiden, menteri sampai lurah, yang ikut menetesi vaksin, sampai akhirnya Indonesia dinyatakan bebas polio.

Karena gerakan ini tidak bisa dilayani oleh petugas puskesmas atau rumah sakit karena terlalu besar dan meyebar, sehingga pelayanannya bersifat menjemput bola. Program imunisasi itu sangat tertolong karena sudah ada posyandu.

Tapi semenjak reformasi, posyandu seperti dilupakan?
Saya terkejut ketika ketua Ikatan Bidan Indonesia datang kesini dan bilang kepada saya kalau kini jumlah bidan di desa tinggal 22 ribu dan banyak posyandu yang bubar.
Kalau posyandu di daerah masih hidup, maka busung lapar, polio, dan muntaber bisa terdeteksi. Tanda-tanda busung lapar kan tidak mendadak, tidak tiba-tiba muncul. Ada tanda-tanda yang mengawali seseorang terkena penyakit kekurangan gizi tersebut.

Apa yang harus dilakukan?
Tidak harus dengan dana besar, karena pada dasarnya masyarakat itu nurut. Namun ini juga bukan soal kepemimpinan yang istimewa, tapi berilah kesempatan bagi masyarakat untuk berkembang dan pemerintah yang mendampingi. (Saktia Andri Susilo-13)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Featured