Rabu, 27 Mei 2009

ASI, Terbaik untuk Bayi

Angka kematian bayi yang cukup tinggi di dunia sebenarnya dapat dihindari dengan pemberian air susu ibu. Meski penyebab langsung kematian bayi umumnya penyakit infeksi, seperti infeksi saluran pernapasan akut, diare, dan campak, tetapi penyebab yang mendasari pada 54 persen kematian bayi adalah gizi kurang.Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan ada 170 juta anak mengalami gizi kurang di seluruh dunia. Sebanyak 3 juta anak di antaranya meninggal tiap tahun akibat kurang gizi.

Di Indonesia, angka kematian bayi saat ini 35 per 1.000 kelahiran hidup. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat tak kurang dari 10 bayi dan 20 anak balita meninggal dunia setiap jam di Indonesia.

Karena itu, WHO merekomendasikan, semua bayi perlu mendapat kolostrum (ASI hari pertama dan kedua) untuk melawan infeksi dan mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan
untuk menjamin kecukupan gizi bayi.

Penyebab kurang gizi, menurut Direktur Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan (Depkes) Ina Hernawati, adalah pola pemberian makan yang salah pada bayi, yaitu pemberian makanan pendamping ASI terlalu cepat (kurang dari usia 6 bulan) atau terlalu lambat (lebih dari usia 6 bulan).

“Pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu cepat berisiko mengganggu kualitas, kuantitas, maupun keamanan makanan bayi,” ujar Ina.

Ketua Kelompok Kerja ASI IDAI Prof Rulina Suradi menegaskan, ASI satu-satunya makanan utama bayi sesuai dengan spesiesnya. Ia mencontohkan, 50 persen susu ikan paus terdiri dari lemak untuk menjamin kebutuhan energi karena tinggal di air dingin. Susu kelinci mengandung protein sangat tinggi karena bayi kelinci hanya menyusu sekali sehari. Hal itu berbeda dengan bayi manusia yang menyusu setiap saat sehingga proteinnya hanya 19 persen.

Manfaat ASI
Selain zat gizi dalam jumlah seimbang dan antibodi, air susu ibu (ASI) mengandung enzim pencernaan, seperti lipase, amilase, protease, dan laktase, untuk membantu pencernaan. Karena sistem pencernaan bayi baru sempurna pada bulan kelima dan keenam, dianjurkan pemberian ASI eksklusif bagi bayi.

“Ibu tidak perlu khawatir bayi akan kelaparan pada hari-hari pertama dan tidak perlu menambah dengan susu formula. Pemberian susu formula justru berisiko masuknya kuman atau terjadinya alergi,” kata Rulina.

Meski banyak susu formula diklaim setara ASI dengan tambahan pelbagai zat gizi, seperti taurin, nukleotida, DHA, dan DHAA, tetapi zat kekebalan tubuh, seperti immunoglobulin, pada ASI tidak tergantikan. Selain tidak menyebabkan alergi, ASI juga mempererat ikatan ibu dan anak.

Adapun manfaat bagi ibu, hormon oksitosin yang keluar saat ibu menyusui selain merangsang otot polos di saluran ASI juga merangsang otot polos di rahim sehingga mengurangi perdarahan pascakelahiran serta mempercepat pemulihan rahim.

Prolaktin yang keluar selama menyusui menekan ovulasi sel telur sehingga menjadi kontrasepsi efektif. Ibu yang menyusui cepat kembali ke berat badan semula karena lemak yang ditumpuk di bawah kulit selama hamil digunakan untuk membentuk ASI. Ibu menyusui juga memiliki risiko lebih kecil terkena kanker payudara dan kanker rahim dibandingkan dengan ibu tidak menyusui.

Ina menambahkan, begitu bayi mengisap kolostrum (ASI pertama) setelah dilahirkan, produksi susu akan terangsang sehingga keluar pada hari ketiga dan seterusnya.

Terkait manfaat ASI, tema Pekan ASI 2007 yang berlangsung 1-7 Agustus adalah “Breastfeeding: the 1st hour early initiation can save one million babies” atau “Menyusui pada 1 jam pertama menyelamatkan lebih dari satu juta bayi”.

Peraturan
Sebagai perwujudan komitmen terhadap Deklarasi Innocenti, kata Ina, Depkes mengeluarkan sejumlah peraturan untuk menjamin pemberian ASI pada bayi. Deklarasi Innocenti disusun dan diadopsi peserta pertemuan WHO/Unicef tentang Breastfeeding in the 1990s: A Global Initiative yang berlangsung di Florence, Italia, 30 Juli-1 Agustus 1990.

Peraturan itu adalah Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) Nomor 237 Tahun 1997 tentang Pemasaran Pengganti Air Susu Ibu dan Kepmenkes No 450/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.

Selain itu, ada Undang-Undang No 7/1997 tentang Pangan serta Peraturan Pemerintah No 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan. Saat ini Depkes sedang menyusun Strategi Nasional Pemberian Makanan bagi Anak.

Dalam Kepmenkes No 237/ 1997 antara lain diatur bahwa sarana pelayanan kesehatan dilarang menerima sampel atau sumbangan susu formula bayi dan susu formula lanjutan atau menjadi ajang promosi susu formula. Pelanggar bisa dikenai sanksi teguran sampai pencabutan izin.

Untuk meningkatkan pemberian ASI eksklusif, Depkes melakukan pelatihan bagi pelatih (TOT) tim konseling menyusui di rumah sakit rujukan. Tim akan terdiri dari dokter obstetri ginekologi, dokter anak, dan bidan. Di tingkat kabupaten/kota anggota tim ditambah dengan ahli gizi.

Menurut Direktur Pelayanan Medik Spesialistik Depkes Ratna Rosita, Depkes sedang menyusun draf PP tentang Peningkatan Kesehatan Anak melalui Pemberian Air Susu Ibu untuk meningkatkan kekuatan hukum kepmenkes terkait pemberian ASI dan pengaturan pemasaran susu formula.

Pihaknya melakukan revitalisasi rumah sakit sayang ibu bayi (RSSIB), yaitu rumah sakit pemerintah maupun swasta, umum maupun khusus, yang melaksanakan 10 langkah menuju perlindungan ibu dan bayi secara terpadu dan paripurna.

Langkah itu, antara lain, kebijakan tertulis tentang manajemen pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk pemberian ASI eksklusif, memberikan pelayanan nifas, rawat gabung dan neonatus memadai termasuk inisiasi dini, menyelenggarakan pelayanan asuhan antenatal, pertolongan persalinan aman sesuai standar, pelayanan KB dan imunisasi.
“Pengawasan dan evaluasi dilakukan oleh dinas kesehatan provinsi serta kabupaten/kota,” ujar Ratna.

Tahun 2006 tercatat 149 rumah sakit (RS) melaksanakan program RSSIB dan sampai Juli 2007 ada 19 RS melaksanakan kebijakan ASI eksklusif. Depkes telah mengirim surat edaran agar seluruh RS melaksanakan inisiasi dini, yaitu pemberian ASI dalam 60 menit setelah kelahiran.

Harni Koesno, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI), menyatakan, organisasinya memiliki standardisasi pelayanan dalam menolong persalinan, yaitu pelaksanaan inisiasi dini dan ASI eksklusif 6 bulan.

Di tempat praktik bidan tidak boleh ada promosi, gambar penyuluhan, maupun kaleng susu formula. Harni mengakui, tidak tertutup kemungkinan ada pelanggaran di lapangan. Jika ketahuan, bidan tidak lulus menjadi Bidan Delima—status profesionalisme bidan pada praktik swasta.

IBI mengatur agar anggota tidak mempromosikan susu formula (untuk usia kurang atau sama dengan 6 bulan), tetapi boleh untuk susu formula lanjutan (usia lebih dari 6 bulan). Bidan juga boleh memberi ruang bagi promosi susu untuk ibu hamil dan menyusui. Pengawasan dan evaluasi bidan dilakukan di 170 cabang mencakup lebih dari 6.000 bidan. Kegiatan itu dilakukan tiap tiga bulan.

Terkait pemberian sponsor oleh produsen susu formula, Harni maupun Rulina menyatakan, hal itu merupakan dilema. “Organisasi memerlukan dana untuk kegiatan. Karena itu, pemberian sponsor dibatasi hanya untuk kegiatan pendidikan bagi tenaga kesehatan, bukan untuk penyuluhan kepada masyarakat awam,” tutur Rulina.

Saat ini pelbagai peraturan telah diterbitkan pemerintah dan organisasi profesi terkait. Di lapangan, pelanggaran tetap bisa terjadi. Menjadi tanggung jawab kita semua untuk menjamin agar bayi, anak-anak kita, dan generasi muda memperoleh yang terbaik untuk memulai kehidupannya, termasuk mendapatkan ASI.

Sumber: Kompas
Penulis: Atika Walujani Moedjiono
diambil dari: Kompas Cyber Media, 4 Agustus 2007

0 komentar:

Posting Komentar

 

Featured